Oleh:
Maulana’s Bunda
Santi Kartika Sari
Gigih Setyowati Siregar
“Aku akan menikah bulan depan,” ucap mas Yudha ketika aku mengajaknya nonton malam itu. Sebuah jawaban yang sangat mengagetkanku.
Selama ini Aku dan mas Yudha cukup dekat dan aku tidak pernah tahu kalau ternyata mas Yudha sudah menjatuhkan pilihannya pada seorang wanita, dan itu bukan aku.
Mas Yudha, teman kerjaku. Dia adalah lelaki menawan penuh perhatian dan pengertian begitulah yang aku kenal sejak kedekatan kami mulai beberapa bulan terakhir.
Tak jarang kami habiskan waktu berdua sekedar nonton atau makan berduaan. Walau tanpa kata jadian, semua membuat hati berbunga, merasa aku paling istimewa di hatinya karena seringnya perhatiannya tertuju padaku.
“Kamu serius mas?, jadi selama ini kita? “ tanyaku dengan terbata dengan hati yang hancur berkeping-keping.
“Aku sudah memilih Dia, sebelum mengenal kamu, Dea, Maafkan Aku, aku tak bisa meninggalkannya untuk bersama kamu meskipun Aku inginkan itu, jujur Aku jatuh cinta pada kamu, sungguh Aku mencintai mu” jawabnya sambil meremas tanganku berusaha menenangkan aku.
Aku hanya terdiam, perlahan kusandarkan tubuhku padanya sambil berpeluk kami menuju parkiran bersiap meninggalkan keramaian kota, cuma aku dan dia.
Sepanjang perjalanan, kami hanya diam membisu. Seolah sibuk dengan pikiran masing-masing yang tidak pernah tahu akan kemana bermuara. Sesekali kupandangi wajah tampan Mas Yudha. Hatiku berdesir halus yang mengisyaratkan aku tidak bisa hidup tanpa dirinya. Tanpa bisa kukendalikan, tanganku kembali memegang tangannya. Sebuah dorongan yang begitu kuat dalam diri. Aku memegang erat tangannya. Mas Yudha tiba-tiba memarkirkan mobilnya di sebuah pinggiran kota. Ia menatapku lekat. Sorot mata itu. Yang telah membuat aku jatuh cinta.
Wajah kami beradu, dekat dan semakin dekat.
“Dea….”
Aku terdiam dan berusaha memejamkan mata. Nafasnya semakin dekat. Aku terlena dalam kebisuan. Mata kami kembali beradu. Sorot mata penuh cinta terlihat disana. Entah apa yang terjadi dengan kami. Aku seolah tersihir, lupa dengan semua yang telah Mas Yudha ucapkan. Bahwa aku bukan wanita yang ia pilih.
Tiba-tiba gawai Mas Yudha berbunyi. Kami baru tersadar. Terdengar suara seorang wanita di seberang sana. Wanita yang sedang mencemaskan Mas Yudha karena pesan yang ia kirim belum dibalas. Mas Yudha keluar dari mobil seolah menjauh dariku. Aku tahu, pasti Mas Yudha tidak ingin aku mengetahui pembicaraan mereka. Atau mungkin keberadaanku mengganggu konsentrasinya. Kembali wajahku tertunduk.
“Mengapa harus sesakit ini untuk bisa mencintai Mas Yudha?”
“Mengapa aku begitu lemah?”
“Harusnya aku tidak mengikuti gejolak hati.”
“Tapi…aku terlanjur mencintainya.”
“Cinta yang telah membuat mataku buta.”
Tetapi, aku harus bisa memilih. Akan menjadi penghalang diantara mereka, ataukah aku harus menjauh pergi.
Kubuka pintu mobil. Kupandangi kembali wajah Mas Yudha yang masih menelepon wanita itu. Tanpa bisa dikendalikan, aku berlari. Mendekat dan memeluk Mas Yudha dari belakang. Gawai Mas Yudha aku rampas dan aku matikan.
“Mas, tolong jangan tinggalkan aku.”
“Aku…aku.”
Malam semakin kelam, sekelam hatiku yang belum bisa menerima semua kenyataan ini.
“Duarr…!!! ”
Suara sebuah mobil Bus yang hilang kendali menabrak mobil Mas Yudha dan pohon rindang disebelahnya.
Mas Yudha tertimpa pohon besar itu.
Aku menyaksikannya di depan mataku. Aku pingsan. Semua seperti mimpi.
(TAMAT)